Selasa (26/01/2011), sampai juga kerumah “Nenek”, setelah perjalanan 3 jam yang melelahkan. Rumah itu tampak tidak ada perubahan banyak, sama seperti 15 th yang lalu, saat masih kecil, bermain, tertawa dan menangsi didepan rumah sederhana ini.
Tampak dibagian teras rumah, ada semacam “tempat tidur” yang masih kokoh dengan kesederhanaannya. Paman (kakak ibu) yang sekarang menempati rumah sederhana ini, tampak menyambut kedatangan keluarga dengan hangat, paman tampak baru dating dari sawah, tangannya penuh lumpur.
Mushalla (tempat shalat), yang berada di ujung halaman rumah, masih tetap seperti dulu, hanya beberapa bagian bangunannya sudah direnovasi. “kentongan” pengingat shalat yang sudah “tua” masih digunakan.
Hidangan tak seberapa, cukup teh hangat (yang tak begitu keliatan the, karena mungkin kehbisan teh). Seperti biasa, tamu yang dating sudah pasti diberi hidangan makanan. Lauk pauk seadanya, bahkan “ikan” yang dimasak terasa asin, mungkin karena bumbunya yang sangat sederhana.
Batinku berkata “SEDERHANA”, itulah kesimpulan yang terbesit dalam hati. Sederhana dalam penampilan, santun, sangat menghargai dan menghormati tamu.
Teringat sebuah kata bijak “KAYA bukanlah di ukur dengan MATERI, akan tetapi KETENANGAN JIWA”. Artinya, walaupun materi banyak, akan tetapi “JIWA” kering, susah, gundah, bahkan muram maka ini termasuk miskin.
2 komentar:
menyentuh sekali
kesederhanaan adalah pilihan
sederhana bukan berarti melarat
setuju kang, sederhana itu indah
salam sukses..
sedj
Sederhana ... adalah pilihan, sama seperti kemewahan.
Posting Komentar
silahkan komentar..... tapi tetap dengan sopan