Oleh : Abdurrohim
PENDIDIKAN ISLAM |
A. Pendahuluan
Proses pendidikan dalam kegiatan pembelajaran atau didalam kelas, akan
bisa berjalan dengan lancar, kondusif, interaktif dan lain sebagainya apabila
dilandasi oleh kurikulum yang baik dan benar. Artinya, pendidikan bisa
dijalankan dengan baik ketika kurikulum menjadi penyangga utama dalam proses
belajar mengajarnya. Bahkan kurikulum dianggap sangat penting mengingat ia
memiliki fungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus
pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan[1].
Adanya peserta didik yang berpandangan kedepan dan berfikir luar biasa
disebabkan oleh kurikulum yang dapat membuka mindset pesereta didik yang
progresif. Namun, fungsi dan peranan kurikulum tersebut akan tidak maksimal
dalam proses pendidikan, bahkan terkadang justru lepas jalur dari tujuan awal
pendidikan. Hal ini dikarenakan kurikulum merupakan medan yang tepat untuk
kepentingan berbagai golongan, untuk mencapai sebuah kepentingan tertentu.
Dalam makalah ini, penulis hendak memaparkan bagaimana tantangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam, serta implikasinya. Dengan tanpa menutup
pintu dan meja kritik membangun sebagai upaya “Ta’awun ‘ala al-Birri wa
al-Taqwa”.
B. Pembahasan
1. Meninjau Kembali Hakikat Kurikulum
Sebelum membahas lebih jauh tentang
tantangan kurikulum pendidikan agama islam, alangkah bijaknya jika dipahami
kembali hakikat kurikulum pendidikan, baik peranan dan funginya.
a. Peranan Kurikulum
Sebagai program pendidikan yang telah
direncakan secara sistematis, kurikulum mengembang peranan yang sangat penting
bagi pendidikan siswa. Apabila dianalisis sifat dari masyarakat dan kebudayaan,
dengan sekolah sebagai sebuah institusi sosial yang menyelenggarakan
operasinya, maka paling tidak kurikulum memiliki tiga peranan penting:
Salah satu tanggung jawab kurikulum adalah
metransmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda. Dengan
demikian, sekolah sebagai institusi sosial dapat memberikan pengaruh serta
bimbingan tingkah laku yang baik kepada peserta didik sesuai dengan tingkah
laku sosial yang ada dalam masayarakat[3].
Dalam agama, sifat konservatif ini tersirat dalam sebuah hadits Rasulullah saw.
Kurikulum pada institusi pendidikan selain
memiliki peranan konservatif diatas, dia juga memiliki peranan memberikan bimbingan
kepada para siswa / peerta didik untuk bersifat kritis dan memilih berbagai
unsur kebudayaan yang diwariskan. Sehingga kurikulum memiliki peran sebagai
pengontrol sosial. Unsur sosial yang relevan digunakan, akan terus
dilestarikan, dan serta memodifikasi budaya agar tetap relevan, serta
menciptakan budaya yang baik untuk kelak diwariskan pada generasi selanjutnya.
Dalam hal ini, tepat dan sesuai dengan sebuah perkataan :
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد
الأصلح
“Menjaga tradisi lama yang baik (dan relevan),
serta mengadopsi tradisi baru yang lebih baik”
3) Kreatif
Kurikulum juga memiliki peran kreatif dan
konstruktif, dalam artian menciptakan dan menyusun sesuatu yang baru sesuai
dengan kebutuhan masyarakat di masa sekarang dan yang akan datang. Sehingga
guna membantu setiap individu mengembangkan semua potensi yang ada, maka
kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berfikir, dan kemampuan serta
keterampilan yang baru yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain dasar
seperti item diatas, ternyata peranan seperti ini, tersirat puladalam sebuah
hadits Rasulullah saw.
والإنتاج بما هو أصلح
“Menciptakan sebuah gagasan dan tradisi
yang lebih baik”
b. Fungsi Kurikulum
Selain memiliki peran, seperti yang telah
dijelaskan diatas, kurikulum juga memliki fungsi, berikut beberapa fungsi
kurikulum:
1) Fungsi Penyesuaian; artinya kurikulum dalam hal ini membekali peserta
didik untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, bukan justru menjadi
terasing.
2) Fungsi Integrasi, artinya kurikulum berfngsi membentuk karakter yang
terintegrasi dengan masyarakat dimana peserta didik tumbuh.
3) Fungsi diferensial, artinya peserta didik yang tentunya memiliki latar
belakang sosial yang berbeda, seharusnya tetap menjunjung tinggi perbedaan
tersebut, sehingga disini fungsi kurikulum berlaku. Pada dasarnya fungsi
diferensial memiliki arti, pembentukan siswa yang bersifat kritis dan kreatif,
namun tetap tidak mengenyampingkan solidaritas sosial dan integrasi.
4) Fungsi Persiapan, artinya kurikulum berfungsi menyiapkan siswa untuk
melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.
5) Fungsi Pemilihan, artinya ketika terjadi sifat diferensi/ perbedaan,
maka disana juga terdapat pemilihan. Sehingga fungsi kurikulum juda mengarahkan
siswa untuk dapat mengambil sikap memilih sesuai dengan minatnya.
6) Fungsi Diagnostik, sebagai salah satu lembaga pelayanan masyarakat,
pendidikan beserta kurikulum didalamnya juga didesain agar dapat berfungsi
membantu dan mengarahkan siswa untuk mampu memahami dirinya sendiri apa adanya,
sehingga dapat secara maksimal mengembangkan potensi yang ada.
2. Tantangan Kurikulum Pendidikan
a. Kurikulum Sebagai Modal Pembangunan Pendidikan
Diakui ataupun tidak, walaupun bukan
satu-satunya unsur perubahan sosial masayarakat, namun pendidikan memiliki
peran penting dalam membentuk masyarakat yang terhormat dan bermartabat sehingga
baik dan buruknya hasil pendidikan ditentukan oleh kurikulum yang digunakan.
Prof. Dr. S. Nasution, M. A[6].
Mengatakan bahwa masa depan bangsa terletak pada tangan kreatif generasi muda.
Artinya mutu pendidikan ditentukan oleh pendidikan yang dinikmati anak-anak
saat ini, terutama dalam pendidikan formal yang diterima di bangku sekolah.
Sehingga pencapaian sebuah sekolah dalam mendidik peserta didik, ditentutkan
oleh kurikulum yang digunakan.
Walaupun kurikulum bukan satu-satunya mutu
sebuah pendidikan, dia juga bukan
merupakan perangkat tunggal pendidikan, dikarenakan penjabaran visi sebuah
kurikulum juga ditentukan oleh kreatifitas para guru. Namun demikian, kurikulun
dapat disebut sebagai sentral bagi keberhasilan. Hal ini sebagaimana diutarakan
A. Ferry T. Indratno[7]
mengatakan bahwa kurikulum adalah program dan isi suatu sistem pendidikan yang
berupaya melaksanakan akumulasi pengetahuan antar generasi dalam masyarakat.
Hal senada juga ditegaskan John Wiles[8]
bahwa kurikulum merupakan jantung pendidikan.
Kurikulum dalam hal ini justru menjadi
kunci penting bagi pendidikan, yang tentunya berkaitan erat dengan proses
pembelajaran sebagai aktifitas siswa dalam mengembangkan potensi yang dimiliki
(afektif, koginitif, psikomotorik). Sehingga pendidikan akan melahirkan
generasi muda yang berkualitas, berdaya tinggi, dan bisa berkompetensi secara
elegan.
Hal ini sesuai dengan visi dari pendidikan
itu sendiri, sebagaimana tertuang UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (SISDIKNAS). Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa pendidikan nasional
mempunya visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat
dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas. Sehingga mampu dan proaktif menjawab
tantangan zaman yang selalu berubah[9].
Ada sejumlah dasar pemikiran agar kemudian harus dijadikan pertimbangan supaya
kurikulum menjadi sentral dan berjalan semestinya, yakni :
1) Kurikulum hendaknya dirancang sedemikian rapi, cerdas, dan akurat
sehingga melahirkan relasi erat antar mata pelajaran satu dengan yang lain.
2) Kurikulum harus bersifat fleksibel dan bersifat kontekstual dengan
kepentingan-kepentingan pendidikan di tingkat tertentu.
3) Kurikulum hendaknya disusun bersama oleh para guru dan sejumlah elemen
yang lain yang mengutamakan kepentingan bersama demi tujuan pendidikan
ditingkat daerah dan tetap berdasarkan kepada tujuan pendidikan nasional.
4) Kurikulum hendaknya mencakup segala pengalaman anak dibawah pimpinan
sekolah dalam pandangan modern.
5) Kurikulum hendaknya berpusat pada persoalan-persoalan sosial dan pribadi
yang bermakna bagi anak dalam kehidupan sehari-hari.
6) Kurikulum harus diselenggarakan sebagai sarana mencapai cita-cita
nasional yang berlandaskan filsafat negara.
7) Kurikulum harus memberikan pengalaman yang luas dan bermakna kepada
anak-anak dan tidak bersifat tekstual.
8) Kurikulum harus diatur dengan sedemikian rupa sehingga anak-anak dapat
mempelajari teknik belajar, cara kerja efektif dan memecahkan masalah.
9) Kurikulum hendaknya membukakan kesempatan kepada setiap anak untuk
mengembangkan minat dan bakatnya masing-masing[10].
Sehingga dapat ditarik benang merah, guna
mendapatkan bangsa yang terhormat dan bermartabat, harusnya memperhatikan
kurikulum sejak dini, sebagai dasar dan bekal anak didik menjadi lulusan yang
handal. Sebagaimana ditegaskan Y.B. Mangunwijaya[11] “
bahwa perubahan sistem pendidikan sebut saja kurikulum pendidikan harus dimulai
dengan memperhatikan tingkat sekolah dasar. Itulah tulang punggung bagi
pendidikan selanjutnya. Merupakan ekosistem dan basis strategis bagi evolusi
humanisasi bangsa. Sebaliknya, ketika dari dasar sudah rapu, maka tingkat
pendidikan selanjutnya akan sama rapuhnya.
b. Antara Kurikulum dan Arogansi Pemerintah
Dalam konteks apapun baik politik, huku,
ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya,
penguasa memiliki kekuatan hebat dalam menjalankan roda pemerintahan. Mereka
memiliki kuatan dan pengaruh yang luar biasa untuk mengubah apapun selama itu
menjadi yang terbaik dan benar menurut pandangannya tanpa harus melakukan
diskusi dengan para menteri keputusan dan kebijakan apapun bisa diciptakan
dengan cepat. Akibatnya kondisi tersebut berdampak terhadap keadaan bangsa[12].
Tidak dalam bidang pendidikan (kurikulum), campur tangan pemerintah sebut saja
politik, sangat dirasakan dan tidak dapat terelakkan. Dalam hal ini Syafaruddin[13]
berpendapat bahwa politik kekuasaan menjadi modal utama dalam menjalankan
segala kepentingan penguasa termasuk dalam dunia pendidikan.
Tidak jauh berbeda, M. Sirozi menegaskan
institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat saat ini justru telah dijadikan
fungsi dan alat kekuasaan dalam membentuk sikap dan keyakinan politik yang
dikehendaki. Lebih lanjut ia mengatakan berbagai komponen pendidikan termasuk
didalamnya pembelajaran dan kurikulum serta bahan-bahan bacaan acapkali
digiring pada kepentingan politik[14].
Realitas kurikulum dinegara ini dimulai
sejak tahun 1968 kemudian berlanjut ke tahun 1975, 1984, 1994, 2004 dan 2006.
Hal tersebut menjadi bukti politik bahwa kurikulum tidak pernah lepas dari
cengkraman kepentingan politik[15].
Para pakar pendidikan yang masih memiliki idealisme tinggi terhadap pendidikan
berkualitas meragukan bahwa sejumlah pergantian kurikulum semata-semata demi
kepentingan pendidikan.
Kurikulum menjadi mesin politik kekuasaan
untuk melancarkan segala program penguasa apabila diperlukan dan dibutuhkan.
Kurikulum setidaknya memberikan legitimasi dari segala bentuk kebijakan dan
keputusan politik yang dijadikan oleh penguasa. Dengan pemikiran, kurikulum
yang dibangun dan dijalankan merupakan bagian sekenario politik penguasa. Contoh
kongkrit dalam perjalanan pendidikan indonesia, yang merupakan bias sekenario
politik penguasa, adalah Materi P4, yang diterapkan antara tahun 1966-1997.
Oleh sebab itu ada beberapa hal penting
yang kemudian dapat lebih diperjelas dampaknya ketika kurikulum dikendalikan
oleh penguasa :
1) Kemungkinan besar proses pendidikan yang diharapkan mampu membuka
potensi dan bakat bangsa, akan mati, baik dalam konteks sengaja atau tidak
sengaja. Pendidikan akan bergerak dalam kehidupan yang penuh dengan kemunduran.
2) Hal tersebut memberikan dampak buruk bagi pola pendidikan yang akan
dijalankan dalam ruang belajar mengajar, sebut saja dalam ruang kelas. Kondisi
sangat menekankan pola pendidikan yang harus berpusat pada pendidik, sebab anak
didik adalah robot yang harus dikendalikan dan dikuasai oleh pendidik dalam
segala aspek mulai sikap, pikiran, dan tindakan.
3) Ketika kurikulum diidentikkan dengan penguasa maka sulit kiranya
menjalankan proses pendidikan yang membebaskan dan memerdekakan[16].
Dengan demikian, campur tangan politik
dalam dunia pendidikan (tak terkecuali pendidikan agama) di negara kita,
merupakan cerita lama. Reformasi 1998 yang sejatinya pembuka kran demokrasi
dengan melahirkan pemerintah baru seharusnya melakukan banyak perubahan termasuk
dalam masalah pendidikan. Bila pendidikan tetap dikendalikan secara radikal
oleh penguasa, maka hal itu harus segera dilepas. Pendidikan harus diletakkan
kembali diletakkan sebagai modal pembangunan bangsa.
c. Memanusiakan Kurikulum
Oleh karena itu usaha untuk menjadikan anak
didik betul-betul berada dalam konteks dimanusiakan membutuhkan langkah yang
tepat dan benar sehingga tujuan dapat dicapai dan program yang disusun, maka
ciri-citi manusia yang dimanusiakan harus jelas[17].
C. Kesimpulan
D. Daftar Pustaka
Zainal Arifin M,Pd. “Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum” Cet. II, 2012
(Bandung; PT. Remaja Rosdakarya )
Partanto, Pius A. dkk “Kamus Ilmiah Poluer”
1994 (Surabaya; Arkola)
Oemar Hamalik “ Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum” cet. II 2008 (Bandung; PT Remaja Rosdakarya)
S. Nasution “ Asas-asas Kurikulum” 2003
(Jakarta; Bumi Aksara)
A. Ferry T. Indratno “ Kurikulum
beridentitas Kerakyatan dalam Kurikulum Yang Mencerdaskan, Visi 2030 dan
Pendidikan alternatif” 2007 (Jakarta; Kompas) 108
Zainal Arifin M,Pd. “Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum” Cet. II, 2012
(Bandung; PT. Remaja Rosdakarya ) 21
Moh. Yamin “ Manajemen Mutu Kurikulum
Pendidikan” cet. II, 2010 (Jogjakarta; Diva Press) 19-20
Y.B. Mangunwijaya “ Pendidikan Pemerdekaan”
2004 (Yogyakarta; Dinamika Edukasi dasar) 4
Judul/Title: KARYA LENGKAP DRIYARKARA:
ESAI-ESAI FILSAFAT PEMIKIR YANG TERLIBAT PENUH DALAM PERJUANGAN BANGSANYA
Penulis/Author: Sudiarja, et. al. [ed]
Penerbit/Publisher: Gramedia Pustaka Utama
Edisi/Edition: I, 2006
Halaman/Pages: 1501
Dimensi/Dimension: 16 x 24 x 8 cm
Sampul/Cover: Hardcover
Bahasa/Language: Indonesia
Call No.: 181.16/Sud/k
[1]
Zainal Arifin M,Pd. “Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum” Cet. II, 2012 (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
) 1
[2]
“Tertutup (dari pengaruh pembaharuan); Kolot; adat mempertahankan tradisi/
kebiasaan” Lihat Partanto, Pius A. dkk “Kamus Ilmiah Poluer” 1994 (Surabaya;
Arkola) 367
[3]
Oemar Hamalik “ Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum” cet. II 2008 (Bandung; PT
Remaja Rosdakarya) 12
[4]
“Kritis ; genting, gawat; akut,; tajam/ tegas dan teliti dalam menanggapi atau
memberikan penilaian; secara mendalam; tanggap serta mampu melontarkan
kritik-kritik” lihat Partanto, Pius A. dkk “Kamus Ilmiah Poluer” 1994
(Surabaya; Arkola) 384-385
[5]
“Bersifat penaksiran; penilaian; perkiraan keadaan; penentuan nilai” Partanto,
Pius A. dkk “Kamus Ilmiah Poluer” 1994 (Surabaya; Arkola) 169
[6] S.
Nasution “ Asas-asas Kurikulum” 2003 (Jakarta; Bumi Aksara) 1
[7] A.
Ferry T. Indratno “ Kurikulum beridentitas Kerakyatan dalam Kurikulum Yang
Mencerdaskan, Visi 2030 dan Pendidikan alternatif” 2007 (Jakarta; Kompas) 108
[8]
John Wiles dan Joseph Bondi “ Curriculum Development A Guide To Practice” 1989
(Ohio; Merry Pubhlishing Company) 13
[9]
Zainal Arifin M,Pd. “Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum” Cet. II, 2012 (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya
) 21
[10]
Moh. Yamin “ Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan” cet. II, 2010 (Jogjakarta;
Diva Press) 19-20
[11]
Y.B. Mangunwijaya “ Pendidikan Pemerdekaan” 2004 (Yogyakarta; Dinamika Edukasi
dasar) 4
[12]
Moh. Yamin “ Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan” cet. II, 2010 (Jogjakarta;
Diva Press) 95
[13]
Syafaruddin “Efektivitas Kebijakan Pendidikan; Konsep, Strategi, dan Aplikasi
Kebijakan Pendidikan Menuju Organisasi sekolah Efektif” 2008 (Jakarta; Rineka Cipta) 61-62
[14] M.
Sirozi, Politik Pendidikan, 2007 (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada)96-97
[15]
Moh. Yamin “ Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan” cet. II, 2010 (Jogjakarta;
Diva Press) 17- 18
[16]
Moh. Yamin “ Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan” cet. II, 2010 (Jogjakarta;
Diva Press) 101-103
[17]
Ahmad Tafsir “ Filsafat Pendidikan Islam” 2006 (Bandung; Remaja Rosdakarya) 33
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar..... tapi tetap dengan sopan