Oleh : Abdurrohim
Metode Tafsir Major Themes Of The Quran |
A. Pendahuluan
Kajian interpretasi al-Quran sudah ada sejak
zaman Rasulullah saw. Terbukti bahwa hadits Rasulullah saw. berfungsi sebagai
penjelas bagi al-Quran[1]. merupakan
bentuk intrepretasi terhadap al-Quran. selanjutnya kajian al-Quran mengalami
perkembangan yang dinamis seiring dengan perkembangan kondisi sosial budaya dan
peradaban manusia. Hal ini terbukti
dengan munculnya karya-karya tafsir mulai zaman klasik sampai kontemporer.
Dengan metode dan corak yang cendrung memiliki perbedaan.
Keinginan ulama (Mufassir) untuk terus
mendialogkan teks al-Quran yang terbatas, dengan problem sosial yang terus
berkembang tersebut menjadi salah satu latar belakang munculnya tafsir
kontemporer. Semangat reintrepertasi ini dibuktikan dengan munculnya beberapa
pendekatan tafsir al-Quran mulai dari tafsir Ijlami (Global), Tahlili
(Analitik), Muqarin (Perbandingan), hingga Maudhu’i (Tematik).
Fakhruddin al-Razi (606 H/ 1210 M) misalnya, dia mengajak para mufassir untuk
mencurahkan perhatian pada pentingnya korelasi antar ayat, walaupun pada kedua
tafsirnya justru lebih menitik beratkan pada pembahasan seputar teologi dan
ilmu falak[2].
Semangat reintrepretasi tersbut berlanjut hingga zaman modern. Sebut saja, Nasr
Hamid Abu Zaid dengan semiotika al-Qurannya[3], selain
itu terdapat juga mufassir yang tergolong kotemporer, yaitu Muhammad Syahrur dengan
metode Ijtihad dengan pendekatan Teori hududnya, Fazlur Rahman dengan metode
sosio-historis dengan pendekatan hermeneutika Double Movement (Gerakan
Ganda), dan Sintesis Logisnya (Maudhu’i).
Pada makalah ini, peneliti tertarik untuk membahasan
seputar metodologi tafsir Fazlur Rahman dalam bukunya “Major Themes of The
Quran” dengan alasan, metodologi yang digunakan dalam buku tersebut masih
terkesan baru, walaupun terdapat kemiripan dengan tafsir tematik klasik.
B. Biografi Fazlur Rahman
Fazlur Rahman adalah salah satu mufassir liberal-reformatif
yang diberi kesempatan “sejarah” untuk menerapkan gagasan neomodernisnya. Dia
lahir di anak benua Indo-Pakistan pada 21 September 1919 tepatnya di Hazara[4] di
Barat Laut Pakistan.
Fazlur Rahman dibesarkan dalam tradisi
keluarga yang shalih yang bermadzhab Hanafi, sebuah madzhab yang lebih bersifat
rasionalis dibandigkan dengan madzhab
lainnya, seperti Maliki, Syafi’ie dan Hanbali. Ayahnya adalah salah seorang
ulama tradisional yang menanamkan kepadanya pendidikan dasar keagamaan[5].
1. Latar Belakang Pendidikan
Pendidikan dasar yang dilalui Fazlur Rahman
pada usia sekolah adalah dalam bidang wacana Islam Tradisional dibawah
bimbingan ayahnya. Wacana pendidikan Islam tradisional biasanya di awali dengan
menghafal teks al-Quran, di samping mempelajari bahasa Arab, Bahasa Persia,
Ilmu Retorika, Sastra, Logika, Filsafat, Kalam, Fikih, Hadits dan Tafsir. Perlu
diakui bahwa, wacana-wacana ini prosentasi dan muatannya relatif berbeda pada
masing-masing madrasah.
Ketika berusia 14 tahun (1933), keluarga
Fazlur Rahman hijrah ke Lahore, kota dimana dia mengecap pendidikan modern
pertamanya[6].
Meskipun demikian, di Lahore Fazzlur Rahman juga tetap menimba pengetahuan
Islam tradisional dibawah asuhan ayahnya. Pada tahun 1940, ia menyelaikan
sarjana muda (B.A) dalam jurusan bahasa arab di universitas Punjab. Dua tahu
kemudian, Fazlur Rahman berhasil meraih gelar master of arts (M.A) dalam
jurusan dan universitas yang sama (1942). Pada tahun 1946, ia melanjutkan studi
pada program doktor (Ph.D Program) di Universitas Oxford, Iggris. dan kemudian
menyandang gelar doktor di bidang sastra pada 1950[7]. Pada
program ini Fazlur Rahman mengkonsentrasikan kajiannya dalam jurusan filsafat.
Pada periode 1962-1968 setelah kembali ke
Pakistan Rahman menduduki jabatan yang penting sehingga terlihat secara intens
upaya menafsirkan ajaran Islam dalam program pembaharuan di Pakistan. Dia
diangkat sebagai direktur central Institute of islamic Research dan sebagai
anggota Advisory Council of Islamic Ideology. Lembaga tersebut dibentuk untuk
mengadakan penelitian dan menafsirkan ajaran Islam dalam pengertian rasional
dan Ilmiah untuk kebutuhan masyarakat modern dan progresif[8].
Dilihat dari karya-karyanya, setidaknya ia
menguasai bahasa Inggris, Latin, Yunani, Prancis, Jerman, dan Turki. Disamping
dia juga mengusai bahasa Urdu, Arab, dan Persia[9].
2. Karya-karya Fazlur Rahman
Karya-karya Fazlur Rahman yang dipublikasikan
dalam bentuk buku seluruhnya adalah : Avicennas Psychology (1952), Prophecy
in Islam; Philosophy and Ortodoxy (1958), Islamic Metodology in History
(1965), Islam (1966), The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major
Themes of The Quran (1980), Islam and Modernity: Transformation of an
Intellectual Tradition (1982), Health and Medicine in Islamic Tradition;
Change and Identity (1987), Revival and Reform in Islam (2000)[10].
Khusus Major Themes of The Quran, Buku ini sebenarnya merupakan
artikel-artikelnya yang ditulis ketika ia masih menetap di Pakistan, dan juga
setelah ia berpindah ke Chicago. Buku tersebut yang merupakan buku aplikasi
dari metode “Tematik” yang dia tawarkan dalam rangka memperoleh penafsiran yang
komperehensif dan holistik[11].
Buku tersebut memuat enam tema yang kesemuanya
ditata secara sistematis. Ke-enam tema tersebut adalah tema tentang Tuhan,
Manusia sebagai Individu, manusia sebagai anggota masyarakat, alam semesta,
kenabiyan dan wahyu, Eskatologi, Setan dan Kejahatan serta lahirnya masyarakat
muslim. Pada akhir buku tersebut juga terdapat apndiks tentang situasi relegius
yang dihadapi oleh masyarakat muslim di mekkah, kaum ahli kitab, dan mengenai
keaneka ragamaman “agama-agama”[12].
a.
Chapter
1 – God (bagian Pertama “Tuhan”)
Fazlur Rahman memulai bukunya dengan membahas perlunya adanya Allah swt, Esa-Nya
dan implikasinya. Bab ini berbicara tentang konsep tauhid yaitu tauhid
sebagaimana dibahas dalam Al Qur'an. Perlunya keberadaan Allah adalah salah
satu diskusi tematik utama. Al-Qur'an menyebut keyakinan pada Tuhan, 'keyakinan
dan kesadaran yang tidak terlihat.
b.
Chapter
Two – Man As Individual (Bagian ke-dua manusia sebagai individu)
Bagian kedua
dari buku Fazlur Rahman ini muali terfokus pada manusia
sebagai individu. Al-Qur'an tidak membedakan suku atau agama, namun ia menyamakan (Yunani, Kristen dan Hindu) dalam satu entitas.
Jiwa menjadi kondisi mental tidak sepenuhnya terpisah dari pikiran. Al-Qur'an
menunjukkan Setan menjadi lebih dari kekuatan anti-man ketimbang anti-Tuhan.
Manusia secara alami lahir untuk perjuangan moral yang tanpa henti. Manusia
telah diberkahi dengan karunia pilihan bebas, yang menciptakan tatanan sosial
moral, sebagai manusia mengakui misinya di bumi sebagai Khalifah Allah
swt. - di
situlah letak tujuan dari keberadaan manusia. Orang yang menyadari hal ini dan
bertindak pada saat realisasi ini dapat dikatakan orang yang bertaqwa.
c.
Chapter
Three – Man in Society (Bagian ke-tiga manusia makhluk sosial)
Al-Qur'an berbicara tentang manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Dalam masyarakat Arab pra-Islam terdapat dua aspek utama
dari masyarakat Mekah dikritik berat dalam Al Qur'an, politeisme dan
sosio-ekonomi. Dua sub penting, yakni Riba dan Zakat, yang diharapkan terjadinya sinergi
dan hubungan dinamis tidak hanya pada kasta tertentu, namun juga pada
masyarakat secara umum.
d.
Chapter
Four – Nature (Bagian ke-Empat “Alam)
Bab ini membahas tentang kosmogoni, seperti dibahas dalam Al Qur'an, pada
tingkat yang sangat minimal (yaitu Allah hanya memberi perintah “kun” dan
hal itu terjadi). Alam dalam al-Quran digambarkan dengan dua corak
penting, yaitu sebagai tanda kekuasaan Allah swt. dan sebagai rahmatNya, yang
seharusnya dipergunakan oleh manusia dengan sebaik mungkin.
e.
Chapter
Five – Prophethood and Revelation (Bagian ke-Lima “Kenabian dan Wahyu)
Bab ini membahas keutuhan dan universalitas kenabian dan sifat serta cara
dan Pengalaman
wahyu Muhammad. Pesan dari para nabi adalah universal dan harus diikuti oleh
seluruh umat manusia
f.
Chapter
Six – Eschatology (Bagian ke-Enam “Akhirat”)
Konsep Kehidupan setelah kematian merupakan tema
berulang-ulang disebutkan dalam Al-Qur'an. Al-Qur'an berbicara tentang
hari kiamat sebagai hari akhir. Ini adalah saat kebenaran,
ketika semua perbuatan manusia menjadi benar-benar jelas dan transparan dihadapanNya. Dia juga akan berdiri sendiri di hadapan
Allah swt. untuk
mempertanggung jawabkan segala amalnya selama di dunia.
g.
Chapter
Seven – Satan and Evil (Bagian ke-Tujuh, Setan dan Iblis)
Alquran berbicara tentang prinsip kejahatan, yang
digambarkan dengan sosok setan atau Iblis. Setan digambarkan sebagai bangsa jin dan ia tidak
taat perintah Tuhannya. Jin dianggap sebagai
kreasi sejajar dengan manusia, tetapi lebih rentan
untuk berbuat jahat.
h.
Chapter
Eight – Emergence of the Muslim Community (Bagian ke-Delapan Munculnya
komunitas Muslim)
Bab ini dimulai dengan sebuah ilustrasi tentang rumusan klasik
munculnya komunitas Muslim di tangan penulis Barat. Mereka menggunakan sebuah teori bahwa Muhammad (saw), ketika di Madinah, mengklaim Ajarannya mengikuti ajaran Nabi Ibrahim As. Sehingga terjadilah hubungan emosional yang terbangun dalam sebuah komunitas Muslim. Sebagaimana Rasulullah saw. juga menegaskan ajarannya
sama dengan ajaran Nabi-nabi terdahulu, hal Ini menyebabkan orang arab pada
saat itu lebih menerima Islam.
Tujuan penulisan buku ini adalah untuk membahas
tema-tema penting seperti diatas secara tematik dalam perspektif al-Quran.
Sebab, menurut Rahman, para mufassir baik dari kalangan muslim maupun
non-muslim cenderung membahas dan merangkai isi al-Quran secara atomistik.
Selain itu hampir semua penulisan tafsir dilakukan untuk membela sudut pandang,
ediologi, atau madzhab tertentu sehingga tidak dapat mengemukakan pandangan
al-Quran secara kohesif terhadap apa yang dikandungnya. Karya Fazlur Rahman ini
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak mengenai hal tersebut, dan
dia bisa menjadi pengantar yang baik bagi kajian-kajian tentang tema-tema pokok
al-Quran. Dengan pendekatan tematik, Rahman berpendapat bahwa al-Quran
hendaknya dibiarkan “berbicara” mengenai apa yang dikandungnya sehingga hal
tersebut dapat mengurangi subjektifitas penafsir[13].
C. Metodologi Tafsir Kontemporer
Metodologi merupakan terjemahan bahasa Inggris methodology, yang pada
dasarnya berasal dari bahasa Latin methodus dan logia. Kemudian kata ini diserap oleh bahasa Yunani
menjadi methodos (dirangkai dari kata meta dan hodos) yang berarti cara atau
jalan, dan logos yang berarti kata atau pembicaraan. Dengan demikian metodologi
merupakan wacana tentang cara melakukan sesuatu.
Dalam bahasa arab, metodologi diterjemahkan dengan manhaj atau minhaj
seperti disebutkan dalam ayat al-Quran al-Maidah (5) : 48. Yang berarti jalan
yang terang. Sementara itu dalam bahasa Indonesia, metodologi diartikan dengan
Ilmu atau uraian metode. Sedangkan metode sendiri berarti “Cara yang teratur
dan terfikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan lain
sebagainya)
Istilah tafsir secara etimologis berarti “penjelasan dan penguraian (al-Idhah
wa al-Tabyin[14]).
Kata ini diserap dari fi’il madhi fassara dengan arti keterangan dan
ta’wil”. Sedangkan tafsir secara terminologis adalah “penjelasan tentang arti
atau maksud firman-firman Allah swt. Sesuai dengan kemampuan manusia
(mufassir)”.
Sedangkan tafsir secara terminologi memiliki serangkain definisi yang
diuangkapkan oleh ulama, antara lain :
1.
Abu Hayyan menuturkan, bahwa tafsir adalah
ilmu yang membahas tata-cara pengucapan kata-kata al-Quran, maknanya,
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, baik perkata maupun rangkaian kata dan
kelengkapannya, seperti pengetahuan tentang Nasakh, Asbabu al-Nuzul
dan lain-lain.
2.
Al-Zarkasy mendefinisikan tafsir, adalah
sebuah ilmu yang digunakan untuk memahami al-Quran yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., menjelaskan makna-maknanya
dan mengeluarkan hukum-hukum dan hikmah-hikmahnya.
3.
Menurut Abu al-Taghliby Tafsir adalah
menerangkan maksud lafadz, baik secara haqiqat maupun majaz[15].
4.
Al-Ashbahani, Tafsir adalah membuka makna al-Quran dan
menerangkan maksud (dari makna tersebut)[16]
5.
Al-Zarkasyi, Tafsir adalah Ilmu yang menerangkan tentang
turunnya ayat, surah, dan cerita dibalik turunnya ayat tersebut, nilai-nilai
(substansi) nya, urutan ayatnya (makky, madany), nasikh-mansukh, khash-‘am,
ayat muthlaq dan muqayyad-nya,
ayat mujmal dan mufassar-nya[17].
Dari uraian definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tafsir merupakan
ilmu yang digunakan untuk memperjelas kandungan al-Quran, baik dari segi lafadz
maupun makna. Sehingga dari definisi ini, tafsir lebih umum dari pada ta’wil.
Dalam perkembangannya, tafsir memiliki beberapa corak. Dalam hal ini para
ulama mengklasifikasikannya menjadi tiga macam tafsir yaitu[18] :
1. Tafsir bil Riwayah dan
disebut juga Tafsir bil Ma’tsur
Adalah Tafsir yang menjelaskan makna ayat-ayat
al-Quran dan menguraikannya dengan apa yang ada dalam al-Quran, sunnah shahihah
atau pendapat para sahabat.[19]
2. Tafsir bil Dirayah dan disebut juga Tafsir bil Ra’yi
Adalah Tafsir al-Quran dengan Ijtihad setelah mufassir memahami bahasa Arab,
menguasai makna-maknanya, pola-pola bahasa arab, metode-metode bangsa arab
dalam mengungkapkan kalimat dan menguasai berbagai sarana dan ilmu yang
diperlukannya[20]
3. Tafsir Isyari[21]
Selanjutnya tafsir juga dibagi menjadi beberapa bagian, meninjau pada
penguraian ayat, penghimpunan makna-maknanya, menjelaskan kandungan hukum,
hikmah dan lain-lain. Yaitu :
1.
Tafsir Ijmali, yaitu tafsir yang
menerangkan ayat per-ayat dengan makna global[22].
2.
Tafsir Tahlili, yaitu tafsir yang
berusaha menguraikan kata-kata menurut bahasa arab, I’rab, Balaghah
dan Qiraat, menyebutkan Asbabu Al-Nuzul, serta mengaitkan antar
ayat, menguraikan kata perkata ayat, menjelaskan bagian-bagiannya, kemudian
menggali kandungan hukum dan makna yang terkandung dalam ayat tersebut.
3.
Tafsir Maudhu’i (Tematik)[23],
yaitu tafsir yang menghimpun ayat-ayat yang memiliki tema yang sama,
menjelaskan secara menyeluruh, menjelaskannya dengan hadits-hadits dengan
tema-tema yang sama dan atsar, sampai menjadi kesatuan yang utuh dengan
berbagai unsur dan bagian-bagiannya serta aspek-aspeknya.
4.
Tafsir Muqarin, yaitu menjelaskan
ayat-ayat al-Quran, menguraikannya, menyebutkan pendapat mufassir, mengemukakan
pendapat mereka dan membandingkannya dengan pendapat mufassir yang lain,
menggali kandungan hukumnya, menyimpulkan dari ragam hasil pendapat, persamaan
dan perbedaannya.
5.
Tafsir Kontekstual, adalah metode yang mencoba
menafsirkan al-Quran berdasarkan pertimbangan analisis bahasa latar belakang
sejarah, sosiologi dan antropologi yang berlaku dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat arab pra Islam dan selama proses wahyu berlangsung. Yang kemudian
dilakukan penggalian prinsip-prinsip moral (spirit) yang terkandung dalam
berbagai pendekatan tersebut.[24]
Sementara itu istilah kontemporer berasal dari bahasa Inggris, contemporary
yang berarti “sekarang; modern” dalam kamus populer, Kontemporer diartikan
“termasuk waktu ini (itu) juga; sezaman; semasa; orang yang seangkatan; pada
masa kini; dewasa ini[25]” sementara
itu tidak ada kesepakatan yang jelas
tentang cakupan istilah kontemporer. Misalnya, apakah istilah ini meliputi abad
ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 atau ke-21?. Namun demikian, sebagian
pakar berpendapat bahwa kontemporer identik dengan modern, dan keduanya
digunakan secara bergantian (interchangeably). Bila dilakukan
perbandingan, pemahaman metodologi tafsir kontemporer secara sekilas tidak ada
bedanya dengan yang klasik, ia juga ditujukan untuk menyelaraskan teks Kitab
Suci dengan kondisi di mana mufassir hidup. Namun demikian, terdapat perbedaan
karakteristik yang menonjol yang membedakannya dengan metodologi klasik. Pertama,
metodologi tafsir kontemporer
menjadikan al-Quran sebagai Kitab petunjuk. Kedua, adanya kecendrungan
penafsiran yang melihat kepada pesan yang ada dibalik teks al-Quran. Dengan
kata lain, metodologi kontemporer tidak begitu saja menerima apa yang
diungkapkan al-Quran secara literal, tetapi mencoba lebih jauh sasaran yang
ingin dicapai oleh ungkpan-ungkapan literal tersebut[26].
Istilah metodologi tafsir kontemporer juga tidak terlebas dari latar
belakang dan dan asumsi, terhadap al-Quran sebagai objek. Ada beberapa asumsi
dalam paradigma tafsir kontemporer, antara lain :
1. Al-Quran Shalih li Kulli Zaman wa Makan
Al-Quran yang merupakan kitab suci yang
diturunkan kepada Nabi terakhir, Muhammad saw. Dan sekaligus sebagai kitab
terakhir yang diturunkan, sehingga sangat logis al-Quran mengandung prinsip-prinsip
universal yang akan senantiasa relevan untuk setiap waktu dan tempat[27].
Asumsi ini memberi implikasi bahwa pelbagai problem diera modern akan dapat
dijawab oleh al-Quran dengan cara melakukan kontestualisasi penafsiran secara
terus-menerus seiring dengan semangat
dan tuntutan-tuntutan kontemporer.
2. Teks yang Statis dan Konteks yang Dinamis
Kodifikasi al-Quran sedemikian rupa
mengesankan al-Quran secara literal tidak dapat berkembangan, sementara
berbagai problem terus berkembang, sehingga para mufassir selalu berusaha mengaktualkan dan
mengkontekstualisasikan pesan-pesan universal al-Quran ke dalam konteks
partikula era kontemporer. Hal ini hanya dapat dilakukan jika al-Quran
ditafsirkan sesuai dengan semangat zamannya, berdasarkan nilai dan
prinsip-prinsip dasar universal al-Quran. Untuk tujuan tersebut, pada akhirnya
Fazlur Rahman mengajukan model hermeunnetika double movement.
Menurutnya, ayat-ayat tersebut tidak dapat direduksi atau dibatasi oleh historis
pada saat diwahyukan[28].
3. Penafsiran bersifat Relatif dan Tentatif
Secara normatif, al-Quran diyakini memliki
kebenaran muthlaq namun kebenaran produk penafsrian al-Quran bersifat relatif
dan tentatif. Sebab, tafsir adalah respons mufassir ketika memahami teks kitab
suci, situasi, dan problem sosial yang dihadapinya. Jadi sesungguhnya ada jarak
antara al-Quran dan penafsirnya[29].
Oleh karena itu, tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif, karena seorang
mufassir sudah memiliki prior text yang menyebabkan kandungan teks tersebut
“tereduksi”.
D. Metode Penafsiran Fazlur Rahman dalam Major Themes of The Quran
Terdapat beberapa metode penafsiran yang
ditawarkan Falur Rahman salah satunya Double Movement (Gerakan Ganda)
yang diaplikasikan pada bukunya Islam & Modernity pada tahun 1982[30],
dengan elaborasi sebagai berikut :
Gerakan pertama, bertolak dari situasi
kontemporer menuju ke arah al-Quran diwahyukan, dalam pengertian bahwa perlu
dipahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan cara mengkaji situasi
atau problem historis di mana pernyataan al-Quran tersebut hadir sebagai
jawabannya.
Selain itu, terdapat pula metode sosio-historis.
Menurut Fazlur Rahman, tanpa suatu kajian yang sistematis, pandangan dunia
al-Quran akan sulit untuk dimunculkan. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode
interpretasi sistematis, yakni metode yang mengandaikan perlunya penelusuran
sosio-historis serta pembedaan legal spesifik ayat dari ideal moralnya[31]. Jadi
sebelum melangkah pada metode Sintetis-Logis perlu dipaparkan secara jelas dan
sistematis mengenai keadaan sosio-historisnya.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah
dengan melihat kembali sejarah yang melatarbelakangi turunnya ayat. Maka. Ilmu Asbabu al-Nuzul muthlak dibutuhkan
dalam metode ini, sehingga dapat diketahui atas dasar dan motif apa suatu ayat
diturunkan. Selain itu, pendekatan historis ini hendaknya diberangi dengan pendekatan
sosiologi, yang khusus memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Quran
diturunkan[32].
Oleh karena itu, Rahman terkenal sebagai orang yang kritis terhadap data-data
historis periwayatan. Hal ini dibuktikan dengan gagasannya tentang hermeneutika
hadits-hadits hukum[33].
Namun, metode ini nampaknya menemui kesulitan
manakala dihadapkan dengan persoalan yang bersifat metafisis dan teologis
seperti tema-tema yang terdapat pada buku Major Themes of The Quran.
Rahman dalam hal ini menegaskan dalam
pendahuluannya:
“Except for the treatment of a few important Themess like
the diversity of religiouscommunities, the possibility and actuality of
miracles, and jihād , which all showevolution through the Qur’ān, the
procedureused for synthesizing Themess is logical rather than chronological”[34]
“Kecuali dalam pembahasan beberapa tema penting,
misalnya mengenai keanekaragaman masyarakat-masyarakat agama, serta aktualistas
mukjizat-mukjizat, dan jihad-yang kesemuanya menunjukkan evolusi melalui al-Quran-
maka prosedur yang kami pergunakan disini untuk mensintesakan berabagai tema
tersebut bersifat logis dari pada kronologis”[35]
Metode Sintesis-Logis ini merupakan pendekatan
yang membahas suatu tema (metafisis-teologis) dengan cara mengevaluasi
ayat-ayat yang berhubungan dengan tema yang dibahas atau tema-tema yang
relevan dengan tema yang dibahas. Aspek keterpaduan wahyu sangat jelas
ditekankan[36].
Jika ditinjau dari ilmu tafsir konvensional, pendekatan sintesis logis ini
memliki kemiripan dengan metode tafsir Maudhu’i, hanya saja, para
mufassir dengan metode Maudhu’i masih tekungkung dengan satu tema yang
dibahas. Selain itu, rumusannya masih terkesan menarik otonomi teks kedalam
cengkraman tangan mufassir[37].
Oleh karena itu, Rahman dalam konteks ini nampaknya lebih memilih hermeneutika
Betti (penganut hermeneutika objektivitas) daripada Gaadamer (penganut
hermeneutika subjektivitas).
Salah satu contoh aplikatif metode sintesis
logis ini dapat dilihat ketika Rahman membahas manusia sebagai individu[38]
Rahman memberikan gambaran awal tentang manusia sebagai ciptaan Allah swt.
dengan mengemukakan beberapa ayat yang relevan tentang penciptaannya dari
tanah, yaitu (15:26, 28, 33, 6:2, 7:12), yang kemudian diekstrak menjadi air
mani, yang ketika masuk dalam rahim maka mengalami proses kreatif, seperti
dinyatakan ayat 23:12-14. Kemudian Rahman membedakan penciptaan manusia dengan
makhluk lain, bahwa manusia setelah dibentuk, maka Allah swt meniupkan ruh
kedalam diri manusia, seperti yang disebutkan ayat 15:29, 38:72, 32:9. dan
seterusnya.
Metode tematik ala Rahman sebenarnya
berangkat dari asumsi bahwa ayat-ayat al-Quran saling menafsirkan satu dengan
yang lain (Yufassiru Ba’dhuhu Ba’dhan). Dalam penilaian Rahman, Ulama
terdahulu tidak berusaha menyatukan makna ayat-ayat al-Quran secara sistematis
untuk membangun pandangan dunia al-Quran sehingga mereka dinilai gagal memahami
al-Quran secara utuh dan holistic. Menurut Rahman, salah satu upaya memahi
al-Quranm secara utuh dan komprehenshif dapat dilakukan dengan menggunakan
metode tematik (Sintesis Logis). Menurutnya, alasan penggunaan metode
ini antara lain:
1.
Minimnya usaha para mufassir untuk memahami
al-Quran sebagai satu kesatuan. Selain itu, kaum muslimin belum pernah secara
adil membahas masalah-masalah mendasar mengenai metode penafsiran al-Quran.
2.
Sudut pandang yang berbeda, dengan pemikiran
yang dimiliki sebelumnya, dapat berakibat subjektivitas mufassir yang
berlebihan. Sehingga metode tematik (Maudhu’i) ini diharapkan mampu
mengontrol bias-bias ediologi yang terkesan dipaksakan[39]
E. Analisis Metode Sintesis-Logis
Seperti yang disebutkan diatas, bahwa metode
sintesis-logis merupakan metode pengumpulan ayat-ayat yang relevan dalam satu
tema dan memadukannya, serta membiarkan al-Quran tersebut bebas dari campur
tangan mufassir (subjektivitas). Dalam hal ini, Fazlur Rahman menegaskan:
“Appart from this, the Quran has been allowed to speak
itself; interpretation has been used only an necessary for joining together
ideas”[40]
“Disamping cara ini, kami membiarkan al-Quran berbicara
sendiri; sedang penafsiran hanya kami pergunakan untuk membuat hubungan
diantara konsep-konsep yang berbeda”[41]
Menurut peneliti metode tersebut bukan gagasan
original Fazlur Rahman, dikarenakan perangkat yang digunakan sudah dibahas
dalam metode klasik. Mengumpulkan tema-tema al-Quran, secara definitif tidak
jauh beda dengan tafsir Maudhu’i. Proses memadukan ayat, sehingga terbentuk
pembahasan yang holistik, juga tidak jauh beda dengan “al-Munasabah”[42]
dalam Ilmu tafsir. Hanya saja, jika dalam ilmu “Munasabah” terdapat susunan
ayat dan surah, jika dalam metode Rahman, tidak memandang apakah ayat tersebut
berada di surah yang berbeda atau tidak.
F. Implikasi Penafsiran Fazlur Rahman
Gagasan Metode Sosio-Historis, dengn analisis Hermeneutika
Double Movement (Gerakan Ganda) serta Sintesis Logis, merupakan gagasan
metodologis yang belum digunakan oleh para Mufassir klasik. Asumsi
penggunaan Sosio-Historis adalah, bahwa teks (al-Quran) tidak otonom sehingga ia tidak dapat dipahami dengan baik
tanpa mempertimbangkan konteks[43].
Implikasinya adalah, munculnya kesan “desakralisasi” teks al-Quran,
dalam artian seolah teks tersebut dipengaruhi oleh situasi konteks sejarah.
Metodologi ini digunakan untuk tema-tema yang bukan metafisik-teologis. Adapun
untuk tema ini, Fazlur Rahman lebih menggunakan Sintesis-Logis, seperti yang
dimuat dan diaplikasikan pada bukunya “Major Themes of The Quran”.
G. Kesimpulan
1.
Metode penafisran Fazlur Rahman, merupaakan
metode baru dalam dunia penafsiran al-Quran.
2.
Terdapat tiga metode penafsiran yang
ditawarkan Fazlur Rahman, yaitu Sintesis-Logis, sosio-historis, dengan
pendekatan hermeneutika double movement (gerakan ganda). Sedangkan pada buku
Major Themes of The Quran, digunakan metode Sintesis-Logis.
3.
Latar belakang penulisan buku ini, adalah
anggapan Rahman bahwa para mufassirin belum bisa menampilkan al-Quran secara
utuh dan holstic.
4.
Terdapat kemiripan metode Sintesis-Logis
Rahman dengan metode Maudhu’i. Yaitu, sama-sama mengumpulkan ayat-ayat yang
satu tema yang relevan dengan objek pembahasan. Menurutnya, apa yang dilakukan
para mufassir klasik masih sempit, dikarenakan terdapat kesan subjektivitas.
Daftar Pustaka
Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman”
2007 (Bandung; Jalasutra)
Abdul Mustaqim “Epistemologi Tafsir Kontemporer”
2011 ( Yogyakarta; Lkis Group).
Fazlur Rahman “Tema Pokok al-Quran”. Penj. Anas
Mahyuddin. Cet II, 1996 (Bandung; PUSTAKA)
Jalaluddin al-Suyuthy, “al-Itqan” 2008. Cet I
(Lebanon; Muassasah Risalah Nasyirun).
Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasy “al-Burhan”
1984 (al-Qahirah; Maktabah Daru al-Turats)
Yunus Hasan Abidu “Dirasat wa Mabahist Fi Tarikh
al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin” Penj. Qodirun nur dkk. Tafsir al-Quran,
Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassirin” 2007 (Jakarta; Gaya Media Pratama)
Ahmad Syukri Saleh “Metodologi Tafsir Kontemporer
dalam Pandangan Fazlur Rahman” 2007 (Jakarta; gaung Persada Press)
Musahadi HAM “Hermeneutika Hadits-hadits Hukum mempertimbangkan
Gagasan Fazlur Rahman” 2009 cet I (Semarang; Walisongo Press)
Wahbah al-Zuhaili “al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqhi”
1999 (Lebanon; Daru al-Fikr)
Sahiron Syamsuddin, dkk “Hermeneutika al-Quran”
2003 (Yogyakarta; Islamika)
Muhammad Husain al-Dzahabi “al-Tafsir wa
al-Mufassirun” tt. Juz. I. (al-Qahirah; Maktabah Wahbah).
Quraish Shihab “Membumikan al-Quran” 1994
(Bandung; Mizan).
Nashr Hamid Abu Zaid “Hermeneutika
Inklusif”. Penj. Muhammad Mansur. Dkk. Cet. I (Jakarta Selatan; ICIP)
Puis A Partanto & M. Dahlan al Bary “Kamus Ilmiah
Populer“.1994 (Surabaya :Arkola)
Manna’ al-Qatthan “al-Mabahits fi ‘Ulumi al-Quran”.
1995 (al-Qahirah; Maktabah Wahbah)
Ghufron A. Mas’adi “Pemikiran Fazlur Rahman tentang
Metode Pembaharuan Hukum islam” Cet. I.
1997 (Jakarta; RajaGrafindo Persada)
http://www.ebookbrowse.com/major-Themess-of-quran-fazlur-rahman-pdf-d50853662
[1] Wahbah al-Zuhaili “al-Wajiz fi Ushuli al-Fiqhi” 1999
(Lebanon; Daru al-Fikr). 36 Lihat juga; Manna’ al-Qatthan “al-Mabahits fi
‘Ulumi al-Quran” 1995 (al-Qahirah; Maktabah Wahbah). 337
[2] M. Quraish Shihab “Membumikan al-Quran” 1994 (Bandung;
Mizan). 112
[3] Sahiron Syamsuddin, dkk “Hermeneutika al-Quran” 2003
(Yogyakarta; Islamika). 111 lihat juga dalam “Hermeneutika Inklusif” Nashr
Hamid Abu Zaid, Penj. Muhammad Mansur. Dkk. Cet. I (Jakarta Selatan; ICIP), 65
[4] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” 2007
(Bandung; Jalasutra).19
[5] Ibid.20
[6] Ibid.20
[7] Ibid.20
[8] Ghufron A. Mas’adi “Pemikiran Fazlur Rahman tentang
Metode Pembaharuan Hukum islam” Cet. I.
1997 (Jakarta; RajaGrafindo Persada)26
[9] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” Op.Cit..20
[10] Ibid.22
[11] Abdul Mustaqim “Epistemologi Tafsir Kontemporer” 2011 (
Yogyakarta; Lkis Group). 100
[12] Fazlur Rahman “Tema Pokok al-Quran”. Penj. Anas
Mahyuddin. Cet II, 1996 (Bandung; PUSTAKA)
[13] Abdul Mustaqim “Epistemologi Tafsir Kontemporer” Op.Cit.
101
[14] Muhammad Husain al-Dzahabi “ al-Tafsir wa al-Mufassirun” tt.
Juz. I. (al-Qahirah; Maktabah Wahbah). 12
[15] Jalaluddin al-Suyuthy, “al-Itqan” 2008. Cet I (Lebanon;
Muassasah Risalah Nasyirun). 758
[16] Ibid. 759
[17] Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasy “al-Burhan”
1984 (al-Qahirah; Maktabah Daru al-Turats). 147
[18] Dr. Yunus Hasan Abidu “ Dirasat wa Mabahist Fi Tarikh
al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirin” Penj. Qodirun nur dkk. Tafsir al-Quran,
Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassirin” 2007 (Jakarta; Gaya Media Pratama).
2
[19] Ibid.4 sementara itu Manna’ al-Qatthan menambahkan “menafsirkan dengan perkataan
Kibaru al-Tabi’in (Tokoh Tabi’in), karena mereka biasanya (pendapat)
mereka, langsung didapt para sahabat. “al-Mabahits fi ‘Ulumi al-Quran” Op.Cit.
337
[20]Ibid.8
[21] Adalah mentakwilkan
al-Quran dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isarat samar
yang diketahui oleh pere penempuh jalan spiritual dan tashawwuf dan mampu
memadukan antara makna-makna itu dengan makna lahiriyah yang juga dikehendaki
oleh ayat yang bersangkutan. Ibid. 9
[22] Ahmad Syukri Saleh “Metodologi tafsir Kontemporer dalam
pandangan Fazlur Rahman” 2007 (Jakarta; gaung Persada Press). 48
[23] Contoh Mufassir dengan
metode Tafsir Maudhu’i, adalah Abu
‘Ubaidah pengarang tafsir tentang Majaz al-Quran, al-Raghib al-Ashbahani
pengarang kitab tentang kosakata al-Quran, Abu al-Hasan al-Wahidi pengarang
kitab Asbabu al-Nuzul. Lihat; Manna’ al-Qatthan “al-Mabahits fi ‘Ulumi
al-Quran” Op.Cit. 334
[24] Ahmad Syukri Saleh “Metodologi tafsir Kontemporer dalam
pandangan Fazlur Rahman” Op.Cit. 58
[25] Puis A Partanto & M. Dahlan al Bary. 1994 “Kamus Ilmiah populer “(Surabaya
:Arkola) 367
[26] Ahmad Syukri Saleh “Metodologi tafsir Kontemporer dalam
pandangan Fazlur Rahman” Op.Cit.42
[27] Abdul Mustaqim “Epistemologi Tafsir Kontemporer” Op.Cit.
54
[28] Ibid. 55-56
[29] Ibid. 56
[30] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” Op.Cit.34
[31] Ibid.67
[32] Ibid.53
[33] Musahadi HAM “Hermeneutika Hadits-hadits Hukum” 2009 cet
I (Semarang; Walisongo Press).111
[34] ebookbrowse.com/major-Themess-of-quran-fazlur-rahman-pdf-d50853662 (diakses pada: Kamis
22-11-2012, Pukul: 10:01)
[35] Fazlur Rahman “Tema Pokok al-Quran”. Op.Cit.ix
[36] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” 2007
(Bandung; Jalasutra).68
[37] Sibawaihi “Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman” Op.Cit.70
[38] Fazlur Rahman “Tema Pokok al-Quran”. Op.Cit. 26
[39] Abdul Mustaqim “Epistemologi Tafsir Kontemporer” Op.Cit.
56
[40] ebookbrowse.com/major-Themess-of-quran-fazlur-rahman-pdf-d50853662
(diakses pada: Kamis 22-11-2012, Pukul: 10:08)
[41] Fazlur Rahman “Tema Pokok al-Quran”. Op.Cit.x
[42] Orang pertama kali yang mengenalkan “munasabah al-Ayah wa
al-Suwar” adalah abu-bakar al-Naisabury. Lihat; Jalaluddin al-Suyuthy,
“al-Itqan” 2008. Cet I (Lebanon; Muassasah Risalah Nasyirun)630
[43] Abdul Mustaqim “Epistemologi Tafsir Kontemporer” Op.Cit
. 300
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar..... tapi tetap dengan sopan